Sabtu, 16 Januari 2010

Minyak Indonesia dalam Empat Belas Dekade Penghisapan

Sektor migas adalah sektor yang aneh. Pengalaman bangsa-bangsa Amerika Latin seperti dicatat oleh Eduardo Galeano dalam Open Veins of Latin America: Five Centuries of the Pillage of a Continent (1997) menunjukkan hal tersebut. Harga minyak dimanipulasi sedemikian rupa dalam skala internasional agar tetap dapat mempertahankan pajak yang murah, sementara industri hilir semakin mahal hitungannya. Dalam bisnis ini, negara-negara kaya sebagai importir minyak mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan negara-negara miskin di Amerika Latin sebagai produsen. Perbandingannya hampir tidak masuk akal, 10 berbanding 1. Artinya, untuk setiap 11 dollar AS, negara produsen hanya mendapatkan total 1 dollar AS saja untuk pajak dan biaya ekstraksi, sementara negara maju yang menjadi pusat perusahaan-perusahaan raksasa menikmati 10 dollar AS yang lainnya melalui bisnis transportasi, pengilangan, pemurnian, penyimpanan, dan distribusi.
Lewat buku ini kita diajak menyimak kilas balik industri migas nasional dalam sejarah penghisapan. Sejarah industri migas di Indonesia bermula dari usaha keras Jan Reerink dalam melakukan pemboran minyak secara komersial pada tahun 1871 di lereng Gunung Ciremai, Jawa Barat. Momen ini menjadi dentang lonceng penanda dimulainya penjarahan besar-besaran terhadap kekayaan bumi Nusantara. Empat rig (menara pemboran) Reerink yang ditancapkan dengan menggunakan tenaga lembu dan gagal dalam menghasilkan minyak bumi dalam jumlah yang komersial menandai mulainya penancapan taring imperium minyak di kerongkongan Nusantara. Selangkah dari kegagalan itu, secara silih berganti para pemain minyak mulai mengadu keberuntungan dan kehebatan teknologi mereka dalam bidang eksplorasi dan produksi. Dua belas tahun kemudian, Aeliko J. Ziljker, seorang inspektur perkebunan di daerah Langkat, Sumatera Utara, mengikuti jejak Reerink dalam usah pencarian minyak. Suatu ketika sang Inspketur sedang berteduh di sebuah tempat untuk melindungi dirinya dari hujan. Menjelang malam, salah seorang pembantunya menyalakan obor yang sebelumnya dicelupkan ke dalam cairan hitam yang terdapat pada genangan air di tempat itu. Mengamati nyala obor tersebut yang berbeda dari biasanya, Ziljker penasaran, keesokan harinya ia kembali mengamati tempat itu, dan “aha…, ini dia si emas hitam,” kira-kira begitu sang Inspektur (105—106).
Sejak itu di Indonesia telah tercatat empat perangkat hukum yang digunakan sebagai payung dalam kegiatan eksplorasi dan produksi. Pertama, Indische Mijnwet 1899 merupakan pengukuhan atas dominasi pemerintah Kerajaan Belanda terhadap bahan galian mineral yang bernilai ekonomi tinggi dan strategis seperti logam, batubara, permata, dan minyak bumi. Kedua, UU No 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Pemerintah pada waktu itu menargetkan bahwa Indonesia harus memiliki undang-undang sendiri di bidang eksplorasi dan produksi migas. Ketiga, UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (UU Pertamina) yang didirikan dua tahun sebelumnya dan dirancang sebagai pemegang Kuasa Pertambangan untuk mengelola minyak dan gas bumi dalam pola usaha yang terpadu (vertically integrated) dari hulu ke hilir. Dan keempat, UU Migas No 22 Tahun 2001 yang diterbitkan setelah Reformasi.
Pasca Reformasi, argumen korupsi dan inefisiensi direproduksi untuk mendesakkan lahirnya UU Migas No 22 Tahun 2001 yang memangkas habis monopoli Pertamina, merombak statusnya dari BUMN yang dibentuk berdasarkan undang-undang menjadi PT Persero, serta secara keseluruhan meliberalisasi sektor migas nasional. Argumen ini sebenarnya tidak tepat, karena rusaknya Pertamina bukan karena monopoli, melainkan karena korupsi, mismanajemen, dan penyalahgunaan kekuasaan yang ada pada tubuh perusahaan. UU Migas No 22 Tahun 2001 ini menandai tonggak liberalisasi dan privatisasi sektor migas di Indonesia yang ternyata didukung penuh oleh USAID yang disokong oleh Bank Dunia dan IMF (halaman 164).
Apa kepentingan USAID? Sangat jelas. Amerika Serikat adalah negara yang paling memiliki kepentingan terhadap liberalisasi sektor migas di Indonesia. Sebagai negara konsumen minyak bumi terbesar di dunia, AS membutuhkan jaminan keamanan pasokan (security of supply) bagi kebutuhan energi dalam negerinya. Sebanyak 60 persen dari konsumsi minyak AS dipasok dari impor dan diperkirakan akan meningkat menjadi 70 persen pada tahun 2020. Di tengah ketergantungan akan impor minyak itu, AS sangat berseberangan dengan OPEC yang terbukti memiliki rumus ampuh dalam mendiktekan harga dan kuota produksi. Dengan total produksi sekitar 35 juta barel per hari, OPEC menyuplai 43 persen kebutuhan minyak dunia dan dengan cara itu memegang kendali untuk membentuk harga dan suplai minyak.
Proses liberalisasi sektor energi ini dilancarkan dengan skenario merampas kontrol minyak negara anggota-anggota OPEC dan memindahkannya ke perusahaan-perusahaan multinasional, terutama yang berbendera AS. Liberalisasi sektor migas dan privatisasi BUMN bukan hanya diusahakan di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara-negara anggota OPEC yang lain seperti Venezuela, Nigeria, dan Aljazair (halaman 262). Bahkan, yang lebih mengerikan, karena Irak masih kebal terhadap skenario liberalisasi melalui penyusupan regulasi, tak ayal invasi militer adalah pilihan rasional, (Naomi Klein; Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism, 2008).
Liberalisasi ini bukannya tanpa perlawanan, UU Migas No 22 Tahun 2001 ini adalah salah satu dari lima UU yang disahkan sejak Reformasi yang menghasilkan minderheidsnota (nota keberatan) dari beberapa anggota Dewan. Hanya saja, nota keberatan mereka seperti membentur tembok. Terbukti, melalui mekanisme judicial review Mahkamah Konstitusi (MK) sekalipun hanya mencabut tiga pasal saja dari keseluruhan UU Migas 2001. Keputusan MK ini ditengarai oleh buku ini lebih kepada pertimbangan politik hukum karena pada saat proses pengujian sedang berlangsung di MK, pemerintah menandatangani kontrak migas bernilai miliaran dolar AS dengan investor asing (halaman 4).
UU Migas No 22 tahun 2001 setidaknya menabung empat masalah besar. Pertama, dicabutnya monopoli Pertamina telah menyebabkan lahirnya berbagai macam pajak baru. Akibatnya kegiatan ekslporasi menurun dan pada tahap yang lebih lanjut mengakibatkan produksi minyak Indonesia menurun. Jadi jangan heran ketika harga minyak dunia naik dan negara-negara penghasil minyak seperti Nigeria, Angola, Brasil, dan Rusia mereguk keuntungan, di Indonesia justru APBN berdarah-darah. Kedua, akibat jebolnya APBN, tak ada jalan lain, harga minyak dalam negeri harus mengikuti harga minyak dunia. Jadi sebenarnya tujuan pemerintah menaikkan harga BBM terutama bukan untuk mengalihkan subsidi dari orang kaya ke orang miskin melalui skema BLT, tetapi untuk secara sistematis mendekati harga minyak dunia. Dengan demikian pasal 33 UUD 1945 tinggal menjadi kenangan. Ketiga, UU Migas menghasilkan momok birokrasi baru dengan diciptakannya lembaga baru BP Migas yang mengelola sektor hulu dan BPH migas di sektor hilir. Dan keempat, konsekuensi dari posisi BP Migas yang bukan institusi bisnis menjadi lahan yang subur bagi tumbuhnya mafia minyak dan sistem brokerage sehingga membuat rakyat dan negara membayar BBM semakin mahal (halaman 217—228).
Ke depan, kutukan minyak nampaknya akan berlanjut, karena pada pemilu presiden terakhir rakyat telah tersandra bom iklan yang menipu sehingga tetap memilih pemimpin yang tidak menjanjikan apa-apa untuk memulihkan kedaulatan energi nasional. Kehadiran buku ini sangat deterministik karena justru situasi sektor migas yang sudah tersandra tersebut akan menjadi konteks yang pas baginya untuk diam-diam merayap menemui pembaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar